I Gusti Bagus Oka Wijaya, I Nyoman Teri Atmaja

Poliklinik Radiologi RSU Wisma Prashanti, Tabanan, Bali, Indonesia

ABSTRAK

Saat pandemi COVID-19 diperlukan tindakan diagnostik yang cepat. Pemeriksaan penunjang yang umum adalah Foto Polos dan CT scan toraks. Pada teknik tersebut alatnya terfiksasi dan mempunyai risiko radiasi. Metode lain evaluasi kelainan paru adalah dengan ultrasonografi. Ultrasonografi aman, tanpa ada kontraindikasi absolut dan mudah dikerjakan di manapun, karena alatnya mobile dan portabel. Ultrasonografi paru dapat dilakukan untuk deteksi dan diagnosis kelainan paru.

Kata kunci: COVID-19, ultrasonografi paru

Pada Desember 2019, di kota Wuhan, Provinsi Hubei, Cina, dilaporkan 41 kasus pneumonia dengan etiologi yang belum diketahui. Otoritas kesehatan dunia (WHO) pada 31 Desember 2019 mengumumkan outbreak kasus pneumonia di Cina. Kemudian pada 9 Januari 2020 WHO menyatakan penyakit tersebut disebabkan oleh virus corona tipe baru atau disebut 2019 new coronavirus (2019nCoV); penyakitnya diberi nama coronavirus disease 2019 atau COVID-19.

Jumlah kasus COVID-19 terus bertambah, seiring dengan meluasnya pemeriksaan skrining ataupun diagnostik, hingga saat ini total kumulatif di seluruh dunia sudah lebih dari 34,8 juta kasus terkonfirmasi dengan lebih dari 1 juta kematian; sebagian besar dilaporkan di wilayah Amerika (55%), diikuti Eropa (23%). Dalam seminggu terakhir, wilayah Amerika, Asia Tenggara, dan Eropa menambahkan hingga 91% kasus baru. Lima negara (India, Amerika Serikat, Brasil, Argentina, dan Prancis) melaporkan 60% kasus baru, sedangkan Israel mencatat insidens tertinggi (3.717 kasus baru per 1 juta penduduk). Secara global, persentase kasus tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 25-39 tahun, sekitar 50% kasus pada kelompok usia 25-64 tahun. Namun, persentase kematian meningkat seiring bertambahnya usia, sekitar 75% kematian terjadi pada usia 65 tahun ke atas.3 Sampai dengan 6 Oktober 2020, Indonesia telah melaporkan 311.176 pasien terkonfirmasi COVID 19; didapatkan 11.374 kematian terkait COVID-19 dan 236.437 pasien dinyatakan sembuh.

COVID-19 bermanifestasi dengan spektrum klinis luas mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, bermanifestasi di beberapa bagian tubuh, hingga syok septik dan disfungsi multiorgan.5 COVID-19 diklasifikasikan berdasarkan manifestasi klinisnya, yaitu gejala ringan, sedang, berat, dan kritis. Gejala yang paling sering adalah demam, lelah, batuk kering, dan diare. Meta-analisis Fu, et al, 7 mendapatkan gejala yang paling sering adalah demam (83,3%), batuk (60,3%), dan kelelahan (38,0%), bisa diikuti oleh peningkatan produksi dahak, sesak napas, dan mialgia, dengan perkiraan prevalensi masing-masing di bawah 30%.

Pemeriksaan penunjang yang umum adalah rapid test, swab PCR, dan foto Toraks atau CT scan Toraks. Pencitraan awal adalah dengan foto polos dada (CXR); jika ada keraguan, dapat dilakukan computed tomography (CT) sebagai alat diagnosis. Namun, kebanyakan hasil pencitraan pasien COVID-19 ditemukan normal terutama saat admisi; pada fase awal, 18% pasien memiliki CXR atau CT normal. Pemeriksaan CXR biasanya menunjukkan opasitas asimetris difus, mirip gambaran pneumonia namun lokasinya lebih ke perifer; kelainan yang membedakan penyakit ini dengan penyakit lainnya adalah groundglass opacity (GGO) pada pemeriksaan CT. Temuan CT scan pada pasien COVID-19 adalah GGO bilateral, subpleural, dengan margin tidak jelas, predileksi pada lobus kanan bawah. Gambaran efusi pleura, nodul paru kecil yang luas, dan limfadenopati jarang menunjukkan diagnosis COVID 19, gambaran tersebut memberikan diagnosis banding infeksi pneumonia ataupun TB paru. Namun, gambaran awal biasanya kurang spesifik dan dapat menyerupai penyakit lain seperti influenza H1N1, pneumonia cytomegalovirus, dan pneumonia atipikal lainnya. Seiring waktu, pola gambaran radiologis berkembang dari abnormalitas unilateral fokal menjadi opasitas difus bilateral sehingga diagnosis pasti dapat ditegakkan. Gambaran CT scan konsolidasi masif sering ditemukan pada hampir semua pasien yang membutuhkan perawatan intensif (ICU).

Sesak napas merupakan kasus yang sering muncul di situasi emergensi. Saat menangani pasien kritis, klinisi seringkali dituntut untuk melakukan diagnosis dan tatalaksana secara cepat. Pada pasien tersebut anamnesis dan pemeriksaan fisik saja kurang tegas untuk diagnosis, dan CXR dapat mengecoh ataupun terlambat; pada saat demikian ultrasonografi dapat dijadikan alat untuk membantu diagnosis klinis karena alatnya portabel dan mobile. Ultrasonografi paru telah digunakan pada situasi di luar rumah sakit dan di daerah terpencil ataupun lokasi sulit untuk membantu diagnosis kelainan paru.

ULTRASONOGRAFI PARU

Ultrasonografi telah digunakan sebagai teknik pencitraan selama lebih dari 50 tahun; namun masih banyak dianggap terbatas untuk diagnosis dan tatalaksana penyakit saluran pernapasan karena struktur toraks berisikan udara dan tulang rusuk yang menghalangi pemeriksaan. Saat ini ultrasonografi paru menjadi alat diagnostik cepat kelainan paru seperti, edema paru, efusi pleura, pneumotoraks, dan konsolidasi paru. Ultrasonografi paru dapat menjadi alternatif alat skrining ataupun diagnostik COVID-19.

Teknik

Saat pemeriksaan ultrasonografi paru, beberapa tanda harus dipahami, di antaranya:

1. Identifikasi pleural line (Gambar 1, garis putih) dan lung sliding (pada ultrasonografi, gerakan horizontal pleural line menandakan tidak terdapat pneumotoraks).

2. A-line (Gambar 1, garis kuning, garis horizontal memanjang dari pleural line); A-lines dan sliding mengindikasikan paru normal; A-lines tanpa sliding mengindikasikan pneumotoraks.

3. Lung point mengindikasikan pneumotoraks.

4. B-lines (Gambar 2, panah putih) mengindikasikan interstitial syndrome yang berasal dari pleura. B-lines muncul sebagai 2 atau 3 garis memancar dari pleura yang menghilangkan A-lines dan membuat gambaran ultrasonografi sampai ke ujung lapangan pemeriksaan.

5. Konsolidasi dikonfirmasi sebagai fractal/shred sign (Gambar 3, panah putih). Jaringan paru yang berkonsolidasi tampak sebagai regio hipoechoic subpleura yang tampak seperti jaringan hepar dengan tepi ireguler dan tebal.

6. Tanda efusi pleura mencakup quad and sinusoid signs (quad signs terdiri dari 4 garis yang merepresentasikan pleura, tulang rusuk, cairan, dan paru, sedangkan sinusoid signs mengindikasikan pergerakan napas paru dengan atelektasis). Kedua tanda ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas tinggi untuk efusi pleura (Gambar 4).

Gambar 1.
Pemeriksaan USG menunjukkan pleural line (panah putih), A line (panah kuning), dan tulang rusuk (bintang putih)

Gambar 2.
Pemeriksaan USG menunjukkan multiple B-lines (panah putih).

Gambar 3.
Pemeriksaan USG menunjukkan shred sign dengan fractal line (panah putih), konsolidasi paru (bintang putih).

Gambar 4.
Pemeriksaan USG konsolidasi paru dengan hepatisasi (bintang putih), air bronchograms (panah kuning); pleural line (panah putih), tulang rusuk (bintang kuning).

Ultrasonografi Paru pada COVID-19

COVID-19 memiliki gambaran ultrasonografi yang dapat menyerupai infeksi saluran pernapasan bawah akibat virus lain; namun beberapa ciri khas bisa membedakannya dari kelainan paru lainnya. Penelitian menunjukkan bahwa ultrasonografi paru lebih unggul dibandingkan evaluasi klinis dan foto polos untuk membantu diagnosis COVID-19.

Temuan pencitraan COVID-19 pada ultrasonografi paru, yaitu B line dengan bentuk bervariasi, bentuk irreguler atau fragmented dari pleural line, dan konsolidasi paru perifer minimal. Pencitraan ini digambarkan dengan artefak bersinar berkelompok muncul dari pleura normal, hilang timbul, menggantikan A-line pada paru normal. Pencitraan B-lines pada pneumonia COVID-19 dapat berubahubah. COVID-19 memiliki gugus B-lines yang biasanya terpisah, namun dapat bergerombol, hingga memberi gambaran paru yang putih. Garis ini dapat muncul pada satu titik dari pleura dan dari konsolidasi perifer; sinar ini memendar hingga ke ujung lapang pemeriksaan. Pencitraan ini merupakan tanda khas pneumonia COVID-19, namun kadang dapat ditemukan pada beberapa kelainan paru lainnya. Gambaran pencitraan ini selalu ditemukan pada fase awal COVID-19. Pencitraan ini dapat merupakan tanda awal dari GGO pada kasus COVID-19 aktif, saat lesi masih terbatas dan parenkim paru masih baik. Peneliti Cina menggambarkan pencitraan ini sebagai waterfall sign. Namun, di negara Barat lebih dianggap lesi artefak sebagai light beam (pancaran cahaya) yang hilang dan muncul saat inspirasi dan ekspirasi. Sebagai catatan, lebih baik menggunakan probe konveks dengan pancaran lebar dan frekuensi rendah untuk mendapatkan gambaran light beam lebih jelas. Juga perlu diperhatikan untuk memposisikan fokus pada level pleura untuk menghindari artefak vertikal.

Buda, et al, meneliti perjalanan penyakit COVID-19 dengan ultrasonografi paru. Pada fase awal COVID-19, pemeriksaan umumnya masih normal, namun dapat ditemukan B-line artifact. Seiring perjalanan penyakit, jumlah B-line akan meningkat dan mulai membentuk interstitial syndrome dengan gambaran B-line menyerupai light beam. Seiring dengan terjadinya inflamasi, dapat timbul acute respiratory distress syndrome (ARDS). Pada gambaran ultrasonografi paru dengan klinis berat, dapat dijumpai gambaran konsolidasi masif dan tidak ditemukan lagi lung sliding. Proses patologis ini biasa dijumpai di lobus tengah dan bawah paru sisi lateral-posterior. Pada fase perbaikan, lesi interstitial akan menghilang perlahan, lalu jumlah B-lines dan konsolidasi secara perlahan menurun, hingga akhirnya menjadi A-lines yang biasa ditemukan pada paru normal. Namun, proses paru tidak dapat pulih semua, sehingga ditemukan gambaran fibrosis pada fase penyembuhan.

Lesi konsolidasi masif/besar dapat menandakan ko-infeksi dengan bakteri, lesi konsolidasi pada COVID-19 umumnya minimal, dan efusi pleura masif juga jarang, namun masih dapat dijumpai efusi minimal pada area yang tidak terkena udara.

Ultrasonografi paru kadang digunakan untuk mendiagnosis kasus-kasus gangguan pernapasan seperti edema paru kardiogenik dan non-kardiogenik, emboli paru, atau pneumonia bakteri, penyakit tersebut memiliki gambaran mirip pnemunia COVID-19, sehingga menjadi diagnosis banding. Dalam kasus ini, klinisi harus melakukan anamnesis pasien, pemeriksaan fisik, dan temuan lain sebagai alat bantu diagnosis. Walaupun gambaran ultrasonografi paru pada COVID-19 memiliki beberapa ciri khas, tidak semua pasien COVID-19 memiliki gambaran ultrasonografi tersebut. Untuk membandingkan gambaran ultrasonografi paru COVID-19 dengan penyakit lainnya dapat dilihat pada tabel 1.

Gambar 5
Perbandingan gambar ultrasound dengan CT: Normal (A), muncul B-lines (B dan C), konsolidasi perifer ringan (D), konsolidasi berat (E). Area merah di (C) menunjukkan GGO pada CT yang berkorelasi dengan B-lines pada ultrasound.

Tabel 1
Perbedaan temuan ultrasonografi paru pada COVID-19 dan penyakit lainnya.

Penggunaan Ultrasonografi Paru pada Kasus Gawat Darurat

Keunggulan ultrasonografi paru pada kasus gawat darurat di antaranya penggunaan bedside dengan ketersediaan cepat karena perangkat seluler dan portabel, tanpa paparan radiasi, pemeriksaan ulang mudah dilakukan, dan hampir tidak ada kontraindikasi absolut. Dengan demikian, anak-anak, pasien hamil, dan pasien yang tidak bisa bangun dari tempat tidur dapat diperiksa dengan mudah. Selain sebagai alat diagnostik, ultrasonografi juga dapat memandu prosedur terapeutik dan invasive seperti drainase efusi pleura atau perikardial. Keterbatasan utamanya adalah tergantung pada keterampilan pemeriksanya, yang berarti bahwa pelatihan ultrasonografi merupakan syarat untuk mendapatkan hasil yang sesuai. Tujuan utama ultrasonografi untuk kasus gawat darurat adalah penilaian awal pasien untuk memandu intervensi lebih lanjut baik itu secara diagnostik ataupun terapeutik.

Protokol yang dianjurkan adalah protokol COVID-19 Lung Ultrasound in Emergency (CLUE), yang nantinya dilakukan scoring berdasarkan lung ultrasound scoring system (LUSS).
Berikut merupakan langkah pemeriksaan di situasi emergensi:

1

Menggunakan alat pelindung diri lengkapdan 2 lapis sarung tangan (outer dan inner)
2

Lakukan pemindaian ultrasonografi hanya jika mendukung pemeriksaan klinis
3

Lindungi seluruh peralatan ultrasonografi dengan cover (transparent plastic dan transducer cover)
4

Gunakan gel sekali pakai
5

Posisikan pasien membelakangi pemeriksa (jika memungkinkan)
6

Pemindaian dimulai dari zona posterior (R5,R6, L5,L6) lalu dilanjurkan dengan zona lateral (R3,R4,L3,L4) dan terakhir zona anterior (R1,R2,L1,L2)
7

Siapkan video clips dan cable presets untuk meminimalisir kontak dengan keyboard
8

Setelah pemindaian selesai, buang transducer cover, plastic drape, dan outer gloves
9

Dengan inner gloves bersihkan alat dengan menyeluruh
10

Ganti alat pelindung diri, gunakan sarung tangan baru, bersihkan alat sekali lagi

Pandemi COVID-19 membuat banyak klinisi memikirkan penggunaan ultrasonografi paru untuk mengurangi risiko terpapar infeksi; ultrasonografi paru dilaporkan sangat bermanfaat pada pengambilan keputusan pada pasien COVID-19. Namun, saat ini pemeriksaan ultrasonografi paru pada pasien COVID-19 belum mempunyai kriteria diagnostik pasti, nilai prognostiknya, dan cut off value untuk diagnosis, juga indikasi dan saat pemeriksaan (setiap hari, dua kali sehari, berdasarkan klinis). Klinisi harus mengambil keputusan secara hati-hati, menghindari keputusan gegabah berdasarkan data yang kurang jelas.

Direkomendasikan pemindaian dilakukan secara sistematis sebagai 12 zona, enam zona untuk paru kanan (R1 hingga R6) dan enam
zona untuk paru kiri (L1 hingga L6, Gambar). Pemindaian zona posterior (R5, R6, L5, L6) akan meningkatkan sensitivitas ultrasonografi paru, karena sebagian besar kelainan terjadi pada posterior paru. Untuk pemindaian yang aman, pasien duduk menghadap jauh dari klinisi. Zona posterior, lateral (R3, R4, L3, L4), dan anterior (R1, R2, L1, L2) dipindai oleh dokter dengan posisi dari belakang pasien. Jika pasien dalam posisi terlentang, zona posterior diganti dengan daerah yang dekat dengan garis aksila posterior. Diperlukan waktu kurang dari 10 menit untuk melakukan ultrasonografi paru. Pada saat pemeriksaan dianjurkan melakukan protokol pengendalian infeksi dan disinfeksi.

LUSS merupakan skor yang valid untuk menilai aerasi paru pada pasien dengan ARDS dan dapat digunakan pada pneumonia COVID-19 dengan interpretasi yang serupa. Pada setiap zona, skor LUSS berkisar 0-3, di mana skor 3 menandakan perubahan struktur paru yang masif. Berdasarkan skoring pada 12 zona, tingkat keparahan penyakit dibagi menjadi ringan (skor 1-5), sedang (>5-15), dan parah (>15), paru normal memiliki skor 0.

SIMPULAN

Ultrasonografi paru dan pleura sangat penting dalam penilaian pasien di unit gawat darurat. Ultrasonografi aman untuk semua kalangan, bebas dari radiasi, dinamis, murah, dan dapat dilakukan di manapun. Perangkat dapat dilindungi dengan plastik untuk mengurangi risiko kontaminasi dan mempermudah proses sterilisasi. Beberapa kondisi dapat dievaluasi dengan ultrasonografi paru dan pleura, mencakup konsolidasi, edema paru, pneumotoraks, dan efusi pleura. Ultrasonografi dapat digunakan baik untuk deteksi maupun diagnostik pasien dengan COVID-19.

Leave a Reply